24 April 2009

dismenore sekunder pada endometriosis (review obatnya)

tulisan ini sebenarnya lanjutan dari posting sebelumnya....cuma lebih spesifik pada endometriosis, semoga bermanfaat ya.....

ENDOMETRIOSIS-RELATED DYSMENORRHEA (Review obat)
Endometriosis merupakan salah satu penyebab yang umum dari nyeri pelvis kronis pada wanita dan juga berhubungan dengan infertilitas. Endometriosis dikarakterisasi oleh adanya jaringan endometrial di luar uterus, dan merupakan penyakit yang bersifat kronis dan kambuhan. Tujuan terapi endometriosis adalah untuk memperbaiki gejala dan meningkatkan fertilitas (Sturpe dan Patel, 2005).
Dari algoritma didapatkan bahwa terapi untuk mengobati nyeri pelvis akibat endometriosis dapat digunakan 2 langkah pengobatan. Terapi yang pertama menggunakan terapi pembedahan dan menghilangkan lesi endometriosis setelah dilakukan diagnosis laparoskopi sebelumnya, dan kemudian dilanjutkan dengan terapi menggunakan obat golongan NSAID, inhibitor COX-2, kontrasepsi oral, agonis GnRH, progestin atau danazol. Terapi yang kedua adalah dengan penggunaan langsung obat-obat golongan Non Steroid Antiinflammatory Drugs (NSAIDs), inhibitor spesifik enzim cyclooxigenase-2 (COX-2), kontrasepsi oral, agonis GnRH, progestin, dan danazol setelah dialkukan diagosa secara empirik. Terapi lanjutan ini diberikan selama 6 sampai 9 bulan, dan selanjutnya dilakukan monitoring keberhasilan terapi untuk menentukan langkah terapi yang selanjutnya sesuai dengan respon terapi yang didapat (Nasir dan Bope, 2004).
Kontrasepsi oral merupakan terapi lini pertama pada kasus dismenore sekunder karena endometriosis, namun bukti yang menunjukkan efikasinya masih kurang. Pada sebuah studi double-blind, placebo-controlled, randomized trial, para peneliti di Jepang mengevaluasi efektivitas penggunaan kontrasepsi oral dosis rendah pada 96 pasien endometriosis yang memiliki keluhan dismenore sedang hingga berat. Efektivitas terapi dievaluasi menggunakan visual analog scale dan memberikan hasil bahwa nilai intensitas nyeri akibat endometriosis pada kelompok uji yang menggunakan kontrasepsi oral mengalami penurunan secara signifikan dari nilai baseline. Sedangkan pada kelompok placebo tidak memberikan efek penurunan intensitas nyeri (Davis, 2009).
Penggunaan levonorgestrel dalam bentuk sediaan berupa IUD memberikan efek penurunan keluhan dismenore akibat endometriosis. Penelitian ini telah dilakukan sebanyak dua kali di Eropa. Pada penelitian yang pertama digunakan subyek penelitian sebanya 40 wanita dengan endometriosis tingkat I-IV dan keluhan dismenore sedang hingga berat. Pada kelompok uji, subyek diberi perlakuan berupa penggunaan IUD pasca operasi. IUD yang digunakan adalah sediaan levonorgestrel dosis 20 µg/hari dan digunakan selama 1 tahun. Setiap 3 bulan dalam waktu penelitian dilakukan pengumpulan data tentang efek penggunaan IUD yang diukur menggunakan visual analog scale dan verbal rating scale. Pada kelompok yang menggunakan IUD melaporkan bahwa keluhan dismenore dan dispareunia secara signifikan menjadi lebih sedikit dibandingkan pada kelompok kontrol. Dalam studi yang kedua dengan subyek penelitian 20 wanita dengan endometriosis ringan hingga sedang dan dismenore sedang hingga berat dengan atau tanpa nyeri pelvis. Perlakuan yang diberikan pada kelompok uji adalah penggunaan IUD levonorgestrel 20 µg/hari. Pengukuran intensitas nyeri dilakukan dengan visual analog scale dan memberikan hasil bahwa jumlah hari dengan keluhan nyeri pada tiap bulan mengalami penurunan secara signifikan selama 6 sampai 12 bulan setelah pemakaian IUD tersebut (Lochat, 2002).
Penggunaan Non Steroid Antiinflammatory Drugs (NSAIDs) dan inhibitor spesifik enzim cyclooxigenase-2 (COX-2) juga memberikan efek perbaikan gejala dismenore sekunder. Sebuah studi randomized, double-blind, crossover, controlled trial telah dilakukan untuk menentukan efek analgesik etoricoxib (inhibitor spesifik COX-2) untuk terapi dismenore sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan etoricoxib dosis tunggal 120 mg memiliki efikasi yang sama dengan asam mefenamat sebagai terapi untuk dismenore sekunder. Etoricoxib juga memberikan efek nyeri epigastrik yang lebih kecil dan dapat ditoleransi dengan baik (Ranong, 2007). Obat golongan NSAIDs maupun inhibitor COX-2 pada awalnya digunakan pada dosis maksimal atau mendekati dosis maksimal. Tidak ada bukti yang mendukung tentang penggantian NSAIDs maupun inhibitor COX-2 dari satu obat ke obat yang lain untuk meningkatkan respon terapi meskipun pada praktiknya banyak dijumpai hal tersebut (Nasir L., dan Bope E.T., 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar