04 April 2009

ROKOK DAN PARU-PARU

Kenapa dengan rokok dan paru-paru? Adakah kaitannya....???
Dari kuliah farmakoterapi sistem pernapasan saya jadi mengerti apa hubungan rokok dan paru-paru. Ternyata pertanyaan saya waktu kecil kenapa kok merokok itu tidak sehat telah mendapat jawabannya. Berikut ini sedikit informasi dari kuliah yang saya dapatkan di semester 7 kemarin.

Kebiasaan merokok memang tidak baik untuk kesehatan, apalagi untuk paru-paru kita. Data epidemiologi pada tahun 2001 menyatakan bahwa penyakit pernapasan merupakan penyebab kematian kedua di Indonesia. Salah satu penyakit pernapasan yang berhubungan dengan kebiasaan merokok dan paru-paru adalah Penyakit Paru Obstruksi Akut (PPOK). Menurut WHO (World Health Organization), penyakit PPOK didefinisikan sebagai penyakit yang dikarakterisir oleh adanya obstruksi saluran pernapasan yang tidak reversibel sepenuhnya. Aliran udara yang tersumbat pada penyakit ini bersifat progresif dan berkaitan dnegan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya.

Beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang mengalami PPOK dibedakan menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor dari pasien. Faktor dari lingkungan diantaranya adalah :
a. merokok, orang dengan kebiasaan ini mempunyai resiko terkena PPOK 30 kali lebih besar daripada orang yang tidak merokok. Namun perokok pasif yang sering terkena paparan asap rokok juga mempunyai resiko untuk terkena PPOK. Kematian akibat PPOK berhubungan dengan banyaknya rokok yang dihisap, usia mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang.
b. pekerjaan, beberapa pekerjaan yang dapat menjadi faktor penyebab PPOK adalah pekerja tambang emas atau batubara, industri gelas dan keramik (paparan debu silika), pekerja yang terpapar debu katun, debu gandum, toluene diisosianat dan asbes.
c. polusi udara, asap dapur dan asap pabrik dapat menyebabkan gangguan paru-paru semakin memburuk.Faktor resiko yang berasal dari pasien diantaranya adalah :
usia, bertambahnya usia menyebabkan resiko terkena PPOK semakin besar.
d. jenis kelamin, laki-laki mempunyai resiko yang lebih besar dibanding wanita, berkaitan dengan kebiasaan merokok yang lebih sering dilakukan oleh laki-laki.
e. gangguan fungsi paru-paru, adanya penurunan fungsi paru-paru memberikan resiko terkena PPOK yang lebih besar. Gangguan paru-paru yang dimaksud diantaranya adalah infeksi TBC atau bronkiektasis.
f. genetik, predisposisi genetik berupa defisiensi a1 antitripsin yang bersifat protektif menyebabkan seseorang menjadi lebih rentan terhadap kerusakan paru-paru.

Patofisiologi dari penyakit PPOK beruap gangguan yang disebut oleh bronkitis kronis dan emfisema. Bronkitis kronis adalah kondisi dimana terjadi sekresi mukus atau lendir yang berlebihan ke dalam cabang bronkus yang bersifat kronis dan kambuhan, disertai batuk yang terjadi pada hampir setiap hari selama sedikitnya 3 bulan dalam setahun untuk 2 tahun berturut-turut. Sedangkan emfisema adalah kelainan paru-paru yang dikarakterisir oleh pembesaran rongga udara bagian distal sampai ujung bronkiole yang sifatnya abnormal dan permanen, disertai dengan kerusakan dinding alveolus.

Diagnosa PPOK ditegakkan berdasarkan adanya gejala-gejala meliputi batuk, produksi sputum, dispnea, dan riwayat paparan faktor resiko. Indikator kunci untuk mempertimbangkan diagnosa adalah :
a. Batuk kronis, terjadi berselang atau setiap hari, dan seringkali terjadi sepanjang hari.
b. Produksi sputum secara kronis.
c. Bronkitis akut yang terjadi secara berulang.
d. Dispnea atau sesak napas yang bersifat progresif sepanjang waktu, setiap hari, memburuk saat berolahraga dan saat ada infeksi pernapasan.
e. Riwayat paparan terhadap suatu faktor resiko (merokok, partikel dan senyawa kimia, asap dapur).

Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan rehabilitasi paru-paru secara komprehensif termasuk fisioterapi, latihan pernapasan, latihan relaksasi, perkusi dada dan drainase postural, mengoptimalkan perawatan medis, mendukung secara psikososial, dan memberikan edukasi kesehatan. Pemberian nutrisi yang tepat, yaitu diet kaya protein dan mencegah makanan yang berat menjelang tidur, serta menhindari konsumsi susu.

Terapi farmakologi yang dapat diberikan diantaranya adalah penggunaan antikolinergik, obat-obat simpatomimetik dari golongan beta 2 agonis atau kombinasi keduanya, golongan metilksantin, kortikosteroid, pemberian oksigen jangka panjang dan bahkan dapat diberikan pula antibiotik untuk kondisi tertentu dimana antibiotik sudah diperlukan.

(dikutip dari : Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernapasan_Dr. Zullies Ikawati, Apt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar