24 April 2009

tentang dismenore sekunder

sedikit tulisan tentang dismenore sekunder yang aku kutip dari beberapa sumber....sebenarnya ini tugas kuliah yang kemarin aku kumpulin, tapi daripada cuma tersimpan di laptop jadi aku posting aja, sekalian bagi-bagi informasi

DISMENORE SEKUNDER
1. Definisi
Dismenore sekunder adalah adalah nyeri haid yang disebabkan oleh patologi pelvis secara anatomis atau makroskopis dan terutama terjadi pada wanita berusia 30-45 tahun (Widjanarko, 2006). Pengertian yang lain menyebutkan definisi dismenore sekunder sebagai nyeri yang muncul saat menstruasi namun disebabkan oleh adanya penyakit lain. Penyakit lain yang sering menyebabkan dismenore sekunder anatara lain endometriosis, fibroid uterin, adenomyosis uterin, dan inflamasi pelvis kronis.
2. Etiologi
Dismenore sekunder disebabkan oleh kondisi iatrogenik dan patologis yang beraksi di uterus, tuba falopi, ovarium, atau pelvis peritoneum. Secara umum, nyeri datang ketika terjadi proses yang mengubah tekanan di dalam atau di sekitar pelvis, perubahan atau terbatasnya aliran darah, atau karena iritasi peritoneum pelvis. Proses ini berkombinasi dengan fisiologi normal dari menstruasi sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Ketika gejala ini terjadi pada saat menstruasi, proses ini menjadi sumber rasa nyeri. Penyebab dismenore sekunder dapat diklasifikasikan dalam 2 golongan, yaitu penyebab intrauterin dan penyebab ekstrauterin (Smith, 2003).
Beberapa penyebab dismenore sekunder yang besifat intrauterin adalah :
a. Adenomyosis
Adenomyosis merupakan suatu kondisi yang dikarakterisasi oleh adanya invasi benign dari endometrium ke perototan uterus, hal tersebut sering berhubungan dengan pertumbuhan abnormal yang menyebar dari perototan. Kondisi ini dilaporkan terjadi pada 25-40% spesimen histerektomi. Nyeri akibat adenomyosis seringkali berhubungan dengan rektum atau sakrum. Endometriosis diketahui dapat terjadi bersamaan pada 15% kasus. Diagnosis akhir adenomyosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikroskopik.
b. Myomas
Myomas atau uterine fibroids merupakan kejadian yang paling sering terjadi dan dilaporkan sebanyak 20% wanita berusia lebih dari 30 tahun, dan 30% wanita usia di atas 40 tahun. Ada beberapa ukuran tumor, dari yang paling kecil hingga yang memiliki berat lebih dari 100 pon. Walaupun tumor ini dapat terjadi pada beberapa bagian dari uterus, serviks, atau ligamen, dan hal tersebut yang lebih sering menyebabkan dismenore sekunder. Hal tersebut pula yang menyebabkan distorsi pada uterus dan cavum uterus. Nyeri dirasa meningkat karena disrupsi aktivitas normal otot uterus atau diperngaruhi oleh tekanan intrauterus.
c. Polyps
Meskipun polip bukan penyebab yang sering pada dismenore, massa di dalam rongga uterus dapat menyebabkan nyeri saat menstruasi. Ketika gejala cukup meluas, pertumbuhan massa ini umumnya dapat dideteksi menggunakan virtue of uterine enlargement atau hernia melalui serviks.
d. Penggunaan Intrauterine Devices (IUD)
Penyebab iatrogenik yang umum pada disemenore sekunder adalah penggunaan IUD. Adanya benda asing dapat meningkatkan aktivitas uterus yang dapat menimbulkan nyeri, terutama terjadi pada wanita yang belum memiliki anak. Riwayat dan adanya string IUD pada pemeriksaan fisik memberikan petunjuk yang cukup.
e. Infeksi
Dismenore sekunder merupakan konsekuensi dari adanya infeksi. Ketika infeksi aktif muncul, seringnya muncul secara akut, dan akan terdiagnosa lebih awal. Bekas luka dan adhesi dapat menyebabkan pergerakan serviks visera terbatas dan rasa nyeri. Nyeri ini hanya timbul selama menstruasi, intercourse, gerakan makanan, dan aktivitas fisik, serta akan menetap pada kondisi yang kronis. Riwayat infeksi pelvis, khususnya yang berulang, dengan pemeriksaan nyeri pelvis, penebalan adnexal, perpindahan yang terbatas, dapat menjadi dugaan.
Sedangkan beberapa penyebab yang bersifat ekstrauterin diantaranya adalah :
a. Endometriosis
Endometriosis merupakan kondisi adanya jaringan yang menyerupai membran mukosa uterus yang normal yang terdapat di luar uterus. Lokasi utamanya ditemukannya implan endometrium adalah di ovarium, ligamen uterus, rectovaginal septum, pelvis peritoneum, tuba falopi, rektum, sigmoid, dan kandung kemih, serta lokasi yang jauh dari uterus seperti plasenta dan vagina. Walaupun 8-10% pasien mengalami gejala akut, sebagian besar pasien mengeluhkan dismenore yang berat dengan gejala pada punggung dan rektum. Adanya nodul pada daerah uterosacral, pada pasien yang memiliki gejala menyerupai inflamasi kronis pada pelvis dapat ditentukan kemungkinan adanya endometriosis.
b. Tumor
Tumor yang jinak maupun ganas dapat menyebar pada uterus atau struktur adnexal, dan kemungkinan dapat menyebabkan dismenore atau nyeri pelvis. Walaupun tumor secara tunggal tidak menyebabkan nyeri, adanya massa pada pemeriksaan fisik menjadikan dokter mendiagnosa kemungkinan adanya massa, dan bukan hanya fibroid.
c. Inflamasi
Inflamasi kronis dapat menjadi sumber nyeri pelvis dan dismenore, hal ini dapat terjadi karena efek aktif dari inflamasi atau adanya bekas luka dan kerusakan yang disebabkan sebelumnya.
d. Adhesions
Adhesi muncul dari proses inflamasi sebelumnya atau pembedahan yang dapat menjadi sumber nyeri pelvis kronis, namun jarang menyebabkan dismenore. Meskipun secara umum tidak tampak pada pemeriksaan fisik, riwayat pasien dapat membantu dalam evaluasi kemungkinan penyebabnya.
e. Psikogenik
Dismenore akibat faktor psikologis relatif umum terjadi. Karena seringnya dismenore terjadi dan tidak adanya penjelasan untuk keluhan yang dirasakan pasien, maka dengan mudah dapat dikatakan bahwa rsa nyeri yang ada merupakan salah satu perasaan yang berhubungan dengan kondisi psikologis. Telah banyak laporan mengenai berbagai tipe personal yang diyakini memiliki hubungan dengan dismenore dan nyeri pelvis kronis. Hanya sedikit pasien yang menganggap bahwa nyeri atau dismenore yang dialaminya merupakan nyeri karena pengaruh psikologis.
f. Pelvic congestive syndrome
Istilah dari pelvic congestive syndrome umumnya digunakan untuk pasien dengan keluhan nyeri pelvis yang bersifat kronis atau dismenore yang kambuh dan tidak ditemukan tanda-tanda klinik. Beberapa studi melaporkan bahwa pada pasien dengan gejala ini ditemukan adanya pelebaran pembuluh vena pada pelvis ketika dilakukan laparoskopi. Hal ini menjelaskan bahwa pelebaran vena ini menyebabkan keluhan nyeri dan penebalan pelvis.
g. Non–gynecology
Seperti pada kasus nyeri nyeri pelvis akut, dinding abdominal, kandung kemih, rektum, sigmoid, dan elemen skeletal dari pelvis dapat menjadi sumber penyebab nyeri pelvis kronis. Semua faktor penyebab itu harus didiagnosa melalui pemeriksaan fisik dan riwayat pasien dengan keluhan nyeri pelvis kronis.
(Smith, 2003)
3. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada dismenore sekunder dan nyeri pelvis dapat beragam dan banyak. Umumnya gejala tersebut sesuai dengan penyebabnya. Keluhan yang biasa muncul adalah gejala pada gastrointestinal, kesulitan berkemih, dan masalah pada punggung. Keluhan menstruasi berat yang disertai nyeri menandakan adanya perubahan kondisi uterus seperti adenomyosis, myomas, atau polip. Keluhan nyeri pelvis yang berat atau perubahan kontur abdomen meningkatkan neoplasi intra-abdominal. Demam, menggigil, dan malaise menandakan adanya proses inflamasi. Keluhan yang menyertai infertilitas menandakan kemungkinan terjadinya endometriosis. Ketika pasien mengeluhkan bahwa gejala mucul setelah penggunaan IUD, tidak tepat jika mengatakan bahwa penggunaan IUD sebagai penyebabnya (Smith, 2003).
4. Diagnosis
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik umumnya akan memberikan petunjuk untuk penegakan diagnosis atau diagnosis itu sendiri pada pasien yang memiliki keluhan dismenore atau nyeri pelvis yang sifatnya kronis. Adanya pembesaran uterus yang asimetris atau tidak teratur menandakan suatu myoma atau tumor lainnya. Pembesaran uterus yang simetris kadang muncul pada kasus adenomyosis dan kadang terjadi pada kasus polyps intrauterin. Adanya nodul yang menyebabkan rasa nyeri pada bagian posterior dan keterbatasan gerakan uterus menandakan endometriosis. Gerakan uterus yang terbatas juga ditemukan pada kasus luka pelvis akibat adhesion atau inflamasi. Proses inflamasi kadang menyebabkan penebalan struktur adnexal. Penebalan ini terlihat jelas pada pemeriksaan fisik. Namun, pada beberapa kasus nyeri pelvis, pemeriksaan laparoskopi pada organ pelvis tetap dibutuhkan untuk melengkapi proses diagnosa (Smith, 2003).
b. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi
Tes laboratorium pada pasien dismenore sekunder atau nyeri pelvis kronis sangat terbatas. Hitung jenis darah dapat membantu mengevaluasi akibat adanya pendarahan yang terus menerus. Laju enap darah dapat membantu mengidentifikasi adanya proses inflamasi, namun tidak spesifik. Tes radiologi umumnya terbatas untuk etiologi yang tidak berhubungan dengan gynecology, seperti pemeriksaan pada saluran pencernaan dan saluran kemih. Tes ultrasonografi pada pelvis memberikan manfaat yang besar karena memberikan gambaran adanya myoma, tumor adnexal atau tumor lainnya, dan lokasi pemakaian IUD(Smith, 2003).
5. Manajemen terapi
Pengobatan untuk dismenore sekunder maupun nyeri pelvis kronis diarahkan untuk mengurangi dan menghilangkan faktor penyebabnya. Meskipun penggunaan analgetik, antispasmodik, dan pil KB dapat memberikan efek yang bermanfaat namun sifatnya hanya sementara. Hanya terapi spesifik yang bertujuan untuk menghilangkan penyebab yang pada akhirnya akan memberikan keberhasilan terapi. Terapi yang bersifat spesifik ini dapat berupa dari penghentian penggunaan IUD sampai dengan terapi menggunakan anti estrogen pada kasus endometriosis. Dapat juga terapi dengan pemindahan polip sampai dengan hysterectomy. Pada beberapa pasien dengan diagnosa tidak spesifik dimana pemberian terapi untuk meredakan keluhan nyeri tidak dapat mengurangi keluhan dan gejalanya, presacral neuroctomy dapat bermanfaat (Smith, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar